Cerpen Seonggok Tanah
Sunday, March 15, 2015
Cerpen seonggok tanah. Amboi! Sungguh indah nian kampung halamanku. Hamparan menguning menuruni kaki-kaki bukit lewat sengkedannya. Gemericik air mengaliri persawahan pada semusim panen raya ini. Nampak beberapa petani dibuat sibuk oleh segerombolan burung pipit yang nakal mencuri bulir-bulir padi berisi. Sementara isteri-isteri mereka nampak berbaris menyusuri pematang sawah dengan membawa sebakul nasi lengkap dengan lauk-pauknya. Hmm.., sungguh pemandangan yang tak kujumpai di kotaku.
Aku pun larut dalam kegembiraan mereka yang sedari tadi terpesona keindahan alam desa dari sebuah gubuk kecil di sisi pematang sawah. “Nak, mari bergabung bersama kami!” sapa lembut seorang ibu sambil menuangkan segelas air dari kendi.
“Oh terima kasih bu! Jawabku agak sedikit malu.
“Tak usah sungkan nak, kebetulan ibu memasak cukup banyak nasi dan lauk!” ujarnya membujukku..
Dengan sedikit canggung, akhirnya aku membaur bersama mereka dalam kebersamaan yang penuh kehangatan.
“Hmm.., senja rupanya tak ingin berlama-lama lagi meninggalkan sore hari”, gumamku. Nampak lembayung senja berpendar di ufuk barat. Akhirnya aku pun beranjak meninggalkan pematang sawah menuju kediaman orang tuaku.
Keesokan hari selepas subuh, saat embun pagi masih bercengkerama dengan bulir-bulir padi berisi. Aku kembali menuju persawahan. Kususuri pematang sawah dengan menuruni pundak-pundak bukitnya sambil kuhirup panjang udara sejuk di pagi yang menyejukkan ini. Dari kejauhan nampak membumbung kepulan asap dari sebuah gubuk di ujung pematang sawah. Dengan rasa penasaran kuhampiri untuk mencari tahu dari mana kepulan asap yang membumbung itu berasal.
Oh ternyata ada sepasang suami istri sedang membuat batubata dari tanah liat. Tampak sang suami sedang mencangkul tanah liat yang nantinya akan dicetak dalam cetakan sebentuk persegi panjang. Sementara sang isteri sedang asyik membakar tanah liat yang sudah dicetak dalam sebuah perapian yang cukup menyengat kulit.
“Selamat pagi Pak, Bu!” santun kusapa kedua suami isteri itu
“Pagi de, oh kamu yang baru datang dari Jakarta putra Pak Karta yang rumahnya sebeladi depan surau ya?”, balas menyapa bapak pembuat batubata itu.
“Betul pak, kebetulan saya lewat sini dan saya lihat bapak dan ibu sedang membuat batubata dari tanah liat ya?” tanyaku kembali.
“Oh betul de” jawab sang isteri sembari melempar senyum.
“Kalau tidak keberatan, bolehkan saya mengetahui proses pembuatan batubata dari tanah liat itu pak?” tanyaku sedikit mengharap.
“Tentu saja boleh de” jawab sang suami ramah.
Dengan serius akupun mulai mendengarkan penjelasan bapak itu yang mulai menceritakan proses pembuatan batubata tersebut.
“Begini de, pertama-tama kita ambil tanah liat yang ada, kemudian masukkan tanah liat tadi ke dalam cetakan, lalu setelah dicetak tanah liat tersebut harus dijemur sekitar 2-3 hari agar menjadi keras. Selanjutnya tanah liat yang sudah mengeras itu kita masukkan ke dalam perapian hingga warnanya menjadi merah kecoklatan, maka batubatu tersebut sudah siap digunakan de”. Paparnya panjang lebar.
“Wah ternyata prosesnya cukup memakan waktu juga ya pak, namun saya sangat berterima kasih karena bapak dan ibu sudah berbagi ilmu kepada saya” ujarku.
“Sama-sama de” jawab bapak itu.
“Kalau begitu, saya pamit dulu ingin melanjutkan perjalanan saya pak, bu”
“Oh silahkan de, sampaikan salamku untuk bapakmu ya” pungkas bapak itu menitip salam.
“Ya pa, insya Allah nanti saya sampaikan, kalau begitu saya pamit dulu”
Suatu senja, mungkin sekitar tiga hari setelah pertemuanku dengan suami isteri pembuat batubata itu, aku bergegas pulang setelah puas seharian berkeliling desa sambil menikmati indah pemandangan dan sejuknya udara pegunungan. Jarak rumah orang tuaku hanya tinggal satu kelokan saja, tibatiba dari jauh aku melihat kerumunan warga desa persis di sebelah mushola. Kupercepat langkah kaki bergegas menghampiri kerumunan itu.
“Maaf pak, ada apa warga desa berkumpul di sini?” tanyaku penasaran.
“Oh ini de, pak Nana baru saja meninggal dunia sekitar sejam yang lalu” jawab seorang warga desa.
“Pak nana yang suka membuat batubata ya pak?” tanyaku serius.
“Iya de” jawab orang itu mengiyakan.
“Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun” lirih kuucapkan sambil mengelus dada.
Tak disangka, pertemuanku di sisi pematang sawah itu merupakan pertemuanku yang pertama dan juga terakhir dengannya. Matahari hampir saja membenamkan wajahnya, akhirnya jenazah pak Nana dishalatkan di musholla samping rumahnya. Tampak ramai sekali warga yang ingin ikut mensholatkan almarhum, hingga jama’ah ada sholat di luar karena mushola tak dapat menampung ratusan warga desa. Usai disholatkan, jenazah dikebumikan di pemakaman keluarganya.
Ada perasaan yang sedikit menggʌnjal di benakku, betapa tidak pak Nana yang semasa hidupnya hanya berprofesi sebagai pembuat batubata, namun ketika beliau tiada warga desa berbondong-bondong ikut mensholatkan dan mengantarkannya ke tempat peristrirahatannya yang terakhir. Sekedar memenuhi rasa penasaranku, kucoba bertanya pada seorang warga yang ikut mengantarnya ke pemakaman.
“Maaf pak, kalau boleh tahu kenapa hampir semua warga desa ikut serta dalam pemakaman pak Nana yang hanya pembuat batubata saja” tanyaku sedikit curiga.
“Oh begini de, walaupun pak Nana hanya seorang pembuat batubata, namun beliau gigih menyekolahkan dua anaknya hingga menjadi orang yang berhasil. Almarhum juga terkenal dermawan kepada warga lain yang membutuhkan, ia tak pernah lupa untuk menyisihkan sebagian rejekinya untuk anak yatim, batubata hasil buatannya juga ia sumbangkan untuk membantu renovasi sekolah, juga pembangunan mushola tempat tadi kita mensholatkannya”. Ujar orang itu panjang lebar.
Tiba-tiba mataku mengarah pada dua anak muda yang berpenampilan rapi, tampak mereka begitu sedih dengan kepergian bapaknya sembari menaburkan bunga di atas pusaranya. “Oh, mungkin itu dua anak muda yang dimaksud orang tadi”, gumamku lirih.
Selepas maghrib, aku duduk di balai-balai depan serambi rumah. Pikiranku tak lepas dari penjelasan orang yang kutanyai tadi. Sungguh aku mengagumi sosok
Pak Nana dengan kesederhanaannnya namun kehidupan beliau penuh dengan tauladan. Sungguh pada akhirnya seseorang akan dikenang bukan karena dari mana ia berasal, tapi karena amal perbuatan yang dilakukan semasa hidupnya. Seperti tanah liat yang terlihat kotor dan jijik, setelah diproses menghasilkan batubata yang sungguh begitu banyak manfaat yang diberikannya.
Aku jadi malu pada diriku sendiri, bertanya-tanya dalam hati apa yang sudah kuperbuat dalam hidup yang sementara ini.
Adhy Saputra, 150315.
Aku pun larut dalam kegembiraan mereka yang sedari tadi terpesona keindahan alam desa dari sebuah gubuk kecil di sisi pematang sawah. “Nak, mari bergabung bersama kami!” sapa lembut seorang ibu sambil menuangkan segelas air dari kendi.
“Oh terima kasih bu! Jawabku agak sedikit malu.
“Tak usah sungkan nak, kebetulan ibu memasak cukup banyak nasi dan lauk!” ujarnya membujukku..
Dengan sedikit canggung, akhirnya aku membaur bersama mereka dalam kebersamaan yang penuh kehangatan.
“Hmm.., senja rupanya tak ingin berlama-lama lagi meninggalkan sore hari”, gumamku. Nampak lembayung senja berpendar di ufuk barat. Akhirnya aku pun beranjak meninggalkan pematang sawah menuju kediaman orang tuaku.
Keesokan hari selepas subuh, saat embun pagi masih bercengkerama dengan bulir-bulir padi berisi. Aku kembali menuju persawahan. Kususuri pematang sawah dengan menuruni pundak-pundak bukitnya sambil kuhirup panjang udara sejuk di pagi yang menyejukkan ini. Dari kejauhan nampak membumbung kepulan asap dari sebuah gubuk di ujung pematang sawah. Dengan rasa penasaran kuhampiri untuk mencari tahu dari mana kepulan asap yang membumbung itu berasal.
Oh ternyata ada sepasang suami istri sedang membuat batubata dari tanah liat. Tampak sang suami sedang mencangkul tanah liat yang nantinya akan dicetak dalam cetakan sebentuk persegi panjang. Sementara sang isteri sedang asyik membakar tanah liat yang sudah dicetak dalam sebuah perapian yang cukup menyengat kulit.
“Selamat pagi Pak, Bu!” santun kusapa kedua suami isteri itu
“Pagi de, oh kamu yang baru datang dari Jakarta putra Pak Karta yang rumahnya sebeladi depan surau ya?”, balas menyapa bapak pembuat batubata itu.
“Betul pak, kebetulan saya lewat sini dan saya lihat bapak dan ibu sedang membuat batubata dari tanah liat ya?” tanyaku kembali.
“Oh betul de” jawab sang isteri sembari melempar senyum.
“Kalau tidak keberatan, bolehkan saya mengetahui proses pembuatan batubata dari tanah liat itu pak?” tanyaku sedikit mengharap.
“Tentu saja boleh de” jawab sang suami ramah.
Dengan serius akupun mulai mendengarkan penjelasan bapak itu yang mulai menceritakan proses pembuatan batubata tersebut.
“Begini de, pertama-tama kita ambil tanah liat yang ada, kemudian masukkan tanah liat tadi ke dalam cetakan, lalu setelah dicetak tanah liat tersebut harus dijemur sekitar 2-3 hari agar menjadi keras. Selanjutnya tanah liat yang sudah mengeras itu kita masukkan ke dalam perapian hingga warnanya menjadi merah kecoklatan, maka batubatu tersebut sudah siap digunakan de”. Paparnya panjang lebar.
“Wah ternyata prosesnya cukup memakan waktu juga ya pak, namun saya sangat berterima kasih karena bapak dan ibu sudah berbagi ilmu kepada saya” ujarku.
“Sama-sama de” jawab bapak itu.
“Kalau begitu, saya pamit dulu ingin melanjutkan perjalanan saya pak, bu”
“Oh silahkan de, sampaikan salamku untuk bapakmu ya” pungkas bapak itu menitip salam.
“Ya pa, insya Allah nanti saya sampaikan, kalau begitu saya pamit dulu”
Suatu senja, mungkin sekitar tiga hari setelah pertemuanku dengan suami isteri pembuat batubata itu, aku bergegas pulang setelah puas seharian berkeliling desa sambil menikmati indah pemandangan dan sejuknya udara pegunungan. Jarak rumah orang tuaku hanya tinggal satu kelokan saja, tibatiba dari jauh aku melihat kerumunan warga desa persis di sebelah mushola. Kupercepat langkah kaki bergegas menghampiri kerumunan itu.
“Maaf pak, ada apa warga desa berkumpul di sini?” tanyaku penasaran.
“Oh ini de, pak Nana baru saja meninggal dunia sekitar sejam yang lalu” jawab seorang warga desa.
“Pak nana yang suka membuat batubata ya pak?” tanyaku serius.
“Iya de” jawab orang itu mengiyakan.
“Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun” lirih kuucapkan sambil mengelus dada.
Tak disangka, pertemuanku di sisi pematang sawah itu merupakan pertemuanku yang pertama dan juga terakhir dengannya. Matahari hampir saja membenamkan wajahnya, akhirnya jenazah pak Nana dishalatkan di musholla samping rumahnya. Tampak ramai sekali warga yang ingin ikut mensholatkan almarhum, hingga jama’ah ada sholat di luar karena mushola tak dapat menampung ratusan warga desa. Usai disholatkan, jenazah dikebumikan di pemakaman keluarganya.
Ada perasaan yang sedikit menggʌnjal di benakku, betapa tidak pak Nana yang semasa hidupnya hanya berprofesi sebagai pembuat batubata, namun ketika beliau tiada warga desa berbondong-bondong ikut mensholatkan dan mengantarkannya ke tempat peristrirahatannya yang terakhir. Sekedar memenuhi rasa penasaranku, kucoba bertanya pada seorang warga yang ikut mengantarnya ke pemakaman.
“Maaf pak, kalau boleh tahu kenapa hampir semua warga desa ikut serta dalam pemakaman pak Nana yang hanya pembuat batubata saja” tanyaku sedikit curiga.
“Oh begini de, walaupun pak Nana hanya seorang pembuat batubata, namun beliau gigih menyekolahkan dua anaknya hingga menjadi orang yang berhasil. Almarhum juga terkenal dermawan kepada warga lain yang membutuhkan, ia tak pernah lupa untuk menyisihkan sebagian rejekinya untuk anak yatim, batubata hasil buatannya juga ia sumbangkan untuk membantu renovasi sekolah, juga pembangunan mushola tempat tadi kita mensholatkannya”. Ujar orang itu panjang lebar.
Tiba-tiba mataku mengarah pada dua anak muda yang berpenampilan rapi, tampak mereka begitu sedih dengan kepergian bapaknya sembari menaburkan bunga di atas pusaranya. “Oh, mungkin itu dua anak muda yang dimaksud orang tadi”, gumamku lirih.
Selepas maghrib, aku duduk di balai-balai depan serambi rumah. Pikiranku tak lepas dari penjelasan orang yang kutanyai tadi. Sungguh aku mengagumi sosok
Pak Nana dengan kesederhanaannnya namun kehidupan beliau penuh dengan tauladan. Sungguh pada akhirnya seseorang akan dikenang bukan karena dari mana ia berasal, tapi karena amal perbuatan yang dilakukan semasa hidupnya. Seperti tanah liat yang terlihat kotor dan jijik, setelah diproses menghasilkan batubata yang sungguh begitu banyak manfaat yang diberikannya.
Aku jadi malu pada diriku sendiri, bertanya-tanya dalam hati apa yang sudah kuperbuat dalam hidup yang sementara ini.
Adhy Saputra, 150315.