Cerpen Solusi
Saturday, March 05, 2016
Cerpen solusi | Jengkel karena suka dipanggil Ndut, Susi yang memang berpostur pesumo meminta s0batnya, Samsul, mencarikannya spesialis obesitas. Sebenarnya janda muda cantik dan kaya itu bertubuh ramping sebelum kematian suaminya enam tahun lalu yang terjun dan hangus bersama baby benz-nya dalam jurang curam di daerah puncak.
Susi lupa bagaimana tubuhnya yang dulu “aduhay” itu kini jadi “astaga”. Tapi itu tak penting. Sekarang ia mau tubuhnya kembali normal agar tak lagi disapa Ndut. Dari G0ogle, Samsul memperoleh lusinan alamat ahli obesitas. Susi memilih dr. Hebring karena jumlah pasiennya selalu membludak seperti nampak pada f0to-f0to di iklʌn online-nya.
Esoknya, Susi meminta Sam, panggilan akrab Samsul, mengantarnya ke alamat dokter itu di Jakarta Selatan. Halaman parkir dr. Hebring penuh dengan mobil pasien. Ini membuat Susi tambah bersemangat meski hanya kebagian nomor tunggu di atas 100.
Namun, antusiasme Susi mendadak luntur saat namanya dipanggil ke ruang dokter. Ia kaget, kecewa, dan hampir saja ia pulang seandainya Sam tak mencegahnya.
Ternyata dr. Hebring yang barusan diidolakannya itu setambun kuda nil. Saking gendutnya, seakan-akan dada dan dagu dokter itu bersambung tanpa leher. Perutnya buncit seperti gentong.
“Selamat sore Bu, apa kabar? Silahkan duduk” dr. Hebring menyapa ramah.
“Dokter... betulkah dokter bisa meng0bati obesitas?” tanya Susi terbata-bata.
“Saya udah ngempesin ribuan orang gendut, Bu. Lihat testimoni mereka disini.” Jelas dr. Hebring sambil menyerahkan brosur yang mencatumkan link situsnya.
“Tapi dokter sendiri...” Susi tak berani merampungkan ucapannya.
Tiba-tiba dokter aneh itu ngakak. Geliginya nampak tak rapih dan agak kusam tak terawat. “Pasti Ibu mau bilang kenapa saya sendiri lebih gendut kan? Hmm, hampir semua pasien saya ngomong begitu. Tapi akhirnya mereka nyesel setelah sembuh”.
“Gemuk dan kurus itu hak azasi manusia. Siapapun yang memilih salah satunya, harus dihormati” khotbah dr. Hebring pula.
Saat Susi mau menimpali, dr. Hebring membentaknya dengan berang. “Ibu mau berdebat atau ber0bat?”
Mendadak Susi ketakutan. Ia berusaha menata emosinya. “Ya, mau ber0bat dong, dok...” ujarnya mempersejuk suasana meski nampak kaku.
Dr. Hebring pun menimbang dan mengukur tinggi badan Susi, lalu memeriksa jantungnya dengan stetoskop. Saat menganalisis hasil pemeriksaan, dr. Hebring terkulai muram.
“Ada apa dok?” tanya Susi cemas.
“Ibu Susi, dengan sedih, saya mesti katakan bahwa... “ dr. Hebring ragu.
Susi panik. “Kenapa dok? Ada apa dengan saya?” desaknya makin stres.
Dr. Hebring menarik napas panjang, lalu berkata dengan lirih: “Maaf. Ibu Susi akan meninggal satu bulan lagi.”
Tangis Susi meledak. Dr. Hebring berusaha menenangkannya. Namun dengan murka Susi menolak tubuh dokter itu hingga sempoyongan.
Sejak menerima “vonis” wafat dari dr. Hebring, Susi tinggal di kamarnya. Ia terus menangis hingga matanya bengkak. Para sanak keluarga berusaha menghiburnya, namun gagal. Sam sendiri yang selama ini jadi motivatornya malah dicuekin.
Semingguan berikutnya, isak Susi reda sendiri. Tetapi kondisinya malah makin parah. Selain
masih mogok makan yang membuatnya kurus, ia juga mogok bicara.
Janda kembang itu kini kusut, berantakan. Tubuhnya tak wangi lagi akibat jarang mandi. Ia bahkan tak pernah lagi tersentuh make-up seperti sebelumnya.
Pada minggu kedua, Susi tiba-tiba menjadi relijius. Shalatnya yang dulu bolong-bolong, kini utuh, malah dioptimalkan dengan semua shalat sunnah, termasuk tahajjud. Ia juga rajin bertadarrus dan berzikir.
Berkat itu, pada minggu ketiga, Susi makin tenang. Ia pun mulai berani keluar kamar meski bajunya sangat gombrang karena tubuhnya menyusut drastis. Namun ia yang dulu ceria dan jenaka, kini menjadi pemurung.
Pada awal minggu keempat, Susi menulis wasiat tentang pembagian semua hartanya kepada keluarga dan kerabatnya. Anehnya, Sam juga kebagian. Padahal ia bukan famili Susi.
Empat hari sebelum jadwal kematiannya, Susi dilarikan ke rumah sakit karena selain tubuhnya kian melemah, vʌginanya mengalami pendarahan. Namun menurut dr. Johan yang merawatnya, Susi baik-baik saja. Ia hanya mengalami dehidrasi. Pendarahan di vʌginanya itu akibat stres berkepanjangan. Esoknya Susi dibolehkan pulang.
Dua hari menjelang hari “H”, Susi mengundang kerabatnya untuk tadarrusan di rumahnya agar ia tegar menghadapi kematiannya. Namun, tetap saja Susi tak mampu menyembunyikan rasa takutnya pada kematian. Ia pun makin ceking akibat depresi.
Pada malam terakhir, Susi memanggil Sam masuk ke kamarnya. Mereka duduk berhadapan di lantai ruang shalat.
“Sam... “ ujar Susi dengan air mata meleleh di pipinya. “Aku mau tanya kamu. Tolong jawab yang jujur, ya?”
“Insya Allah, Sus. Kamu tahu kan, aku nggak pernah bohongin kamu.” sahut Sam.
Susi terdiam sejenak untuk mengontrol emosinya. Lalu ia bertanya: “Sam... apakah kamu masih mencintai aku?”
Sam kaget seperti kena setrum. Mendadak terbayang semua kisah indah yang dahulu ia pernah alami bersama Susi.
“Kamu tahu Sus... Aku cinta kamu sejak kita di SMP hingga saat ini. Insya Allah, sampai di akhirat nanti, aku tetap mencintai kamu, Sus...” bisik Sam lirih.
Tangis Susi meledak, namun ia tahan, takut terdengar orang-orang yang bergadang di luar kamar.
“Kamu aja yang nggak cinta aku, Sus. Buktinya, kamu dulu ninggalin aku untuk kawin sama Om Jono.” dakwa Sam marah campur sedih.
Susi makin menangis sambil meredam mulutnya dengan ujung jilbabnya.
“Maafkan aku, Sam... Aku terpaksa kawin dengan Om Jono... Kamu tahu kan? Hanya dengan begitu aku bisa bantu Papa melunasi utangnya...”
“Aku tahu, Sus. Makanya aku ikhlas melepaskanmu saat itu” kata Sam.
“Tapi kamu nggak tahu neraka perkawinanku dengan Om Jono, kan Sam?” bisik Susi lirih.
“Aku tahu, Sus... Mamamu yang ceritain aku semuanya.” timpal Sam.
“Mama cerita apa aja, Sam?” desak Susi.
“Banyak. Kamu sering digebukin Om Jono karena menolaknya untuk berhubungan sᥱks.”
Susi tersentak. “Mama cerita yang itu, Sam?”
“Mamamu juga bilang bahwa kamu ngga pernah bersetubuh dengan siapapun sampai Om Jono tewas dalam kecelakaan itu”, tutur Sam pula.
“Kamu percaya itu, Sam?” tanya Susi penasaran.
“Pasti. Hingga saat ini pun kamu masih perawan.” tegas Sam.
Susi tersentak dan menatap mata Sam. “Dari mana kamu tahu bahwa aku masih perawan?”
“Dari dokter Johan yang memeriksa pendarahan di vʌginamu kemaren” jelas Sam. “Dia bisik aku, dikiranya aku suamimu. Dikiranya aku impoten. Dia nawarin perawatan”.
Susi kembali menangis tersedu di ujung jilbabnya. “Kamu percaya janjiku dulu kan, Sam? Kegadisanku hanya untuk kamu.”
Sam dan Susi terdiam. Mereka sama tahu, meski Susi hanya mau melepaskan keperawanannya untuk Sam saja, namun itu mustahil terjadi di dunia ini. Tak mungkin mereka menikah karena kematian Susi tinggal menghitung jam.
Berzina? Tidak! Sam enggan mengotori perjalanan sakral Susi menuju Sang Maha Suci. Sam juga tak sudi mencemari rekornya sebagai perjaka asli yang belum pernah bersebadan dengan siapapun karena cintanya hanya untuk Susi.
“Sam, aku tunggu kamu di surga. Disana nanti aku serahin perawanku ke kamu.” janji Susi tegas. Itu membuat Sam terharu.
Menjelang larut malam, sebelum berpisah, Susi mohon agar Sam memintakan ampunan atas dosa besar yang pernah Susi lakukan.
“Dosa besar? Dosa apa?” tanya Sam bingung.
“Sam... Dulu Om Jono bukan mati kecelakaan. Aku tembak kepalanya. Lalu aku bakar mobilnya dan kujatuhkan ke jurang sampai hangus bersama dia” pengakuan polos Susi ini membuat Sam terperanjat seperti disambar geledek.
“Kenapa kamu lakukan itu?” tanya Sam ngeri.
“Aku nggak tahan lagi Sam. Tiap saat dia mabok, nampar aku, nendang vʌgina dan pʌyudaraku, siram aku dengan kopi panas, sundut aku dengan cᥱrutu... dan banyak lagi siksaan lainnya.” tutur Susi penuh emosi.
Susi kini plong setelah memuntahkan rahasia terbesarnya kepada orang yang paling dicintainya itu. Selama ini rahasia itu menjadi beban batin Susi yang terberat dalam hidupnya. Ia mengatasi itu dengan rajin mengkonsumsi 0bat tidur. Itulah yang membuat tubuhnya gembrot tempo hari.
Pada hari ke-30, ramalan dr. Hebring tidak terbukti. Padahal Susi sudah menyiapkan rencana penguburan, tahlilan, dan sebagainya, yang ia serahkan penanganannya pada Sam.
Pada hari ke-31 hingga 35 Susi malah makin segar bugar. Sanak keluarga yang makin ramai berdatangan menyambut upacara kematian itu pun jadi bingung.
Hingga hari ke-40 Susi belum juga mati. Susi dan karib-kerabatnya, terutama Sam, memang gembira. Tetapi mereka juga bertanya-tanya, kelirukah dr. Hebring dengan prekdiksinya? Atau dokter nyentrik itu cuma bercanda?
Jika dokter itu keliru, bisa dimaklumi, karena ilmu pengetahuan memang nisbi. Matematika yang notabene ilmu pasti itu saja gagal menunjukkan kepastiannya saat mengkalkulasi hitungan tertentu, misalnya 1 : 3.
Tetapi, jika dokter kuda nil itu bercanda, semua orang pasti sangat marah karena nyawa manusia terlalu mulia untuk dijadikan guyonan.
Berbekal prasangka buruk, Susi dan Sam bergegas ke tempat praktek dokter tak berleher itu. Mereka menolak nomor tunggu, langsung saja melabrak masuk disaksikan seratusan pasang mata pasien yang keheranan.
Dr. Hebring yang sedang melayani pasien terkejut melihat kedatangan Susi dan Sam yang diluar prosedur itu. Semula ia mau marah, namun saat melihat Sam dan Susi bermuka sangar, iapun mengalah.
“Dokter! Kamu bohong!” teriak Susi garang. Orang-orang di luar pun mengintip ke dalam. “Dulu kamu bilang aku akan mati sebulan lagi. Tapi ini sudah hari ke-41 aku masih hidup. Apa tujuanmu membohongi aku? Jawab!” Susi membentak sambil menggebrak meja.
“Tujuanku?” kata dr. Hebring tenang, “Supaya kamu kurus, sesuai maumu”.
Susi dan Sam tertegun. Emosi mereka mendadak padam. Dr. Hebring menarik Susi ke alat penimbangan badan. Susi manut.
“Lihat! Berat badanmu tinggal 63 kilo.” Kini dr. Hebring yang gantian marah. “Dulu kamu kesini, berat badanmu 133 kilo. Turun lebih separo, tau? Bukannya syukur malah mencak-mencak. Mana belum bayar lagi. Ayo, bayar sekarang!” teriak dokter bergigi berantakan itu.
Cerpen: Sang Mahadewa Cinta
Bumi Allah, 3 Mei 2015
Susi lupa bagaimana tubuhnya yang dulu “aduhay” itu kini jadi “astaga”. Tapi itu tak penting. Sekarang ia mau tubuhnya kembali normal agar tak lagi disapa Ndut. Dari G0ogle, Samsul memperoleh lusinan alamat ahli obesitas. Susi memilih dr. Hebring karena jumlah pasiennya selalu membludak seperti nampak pada f0to-f0to di iklʌn online-nya.
Esoknya, Susi meminta Sam, panggilan akrab Samsul, mengantarnya ke alamat dokter itu di Jakarta Selatan. Halaman parkir dr. Hebring penuh dengan mobil pasien. Ini membuat Susi tambah bersemangat meski hanya kebagian nomor tunggu di atas 100.
Namun, antusiasme Susi mendadak luntur saat namanya dipanggil ke ruang dokter. Ia kaget, kecewa, dan hampir saja ia pulang seandainya Sam tak mencegahnya.
Ternyata dr. Hebring yang barusan diidolakannya itu setambun kuda nil. Saking gendutnya, seakan-akan dada dan dagu dokter itu bersambung tanpa leher. Perutnya buncit seperti gentong.
“Selamat sore Bu, apa kabar? Silahkan duduk” dr. Hebring menyapa ramah.
“Dokter... betulkah dokter bisa meng0bati obesitas?” tanya Susi terbata-bata.
“Saya udah ngempesin ribuan orang gendut, Bu. Lihat testimoni mereka disini.” Jelas dr. Hebring sambil menyerahkan brosur yang mencatumkan link situsnya.
“Tapi dokter sendiri...” Susi tak berani merampungkan ucapannya.
Tiba-tiba dokter aneh itu ngakak. Geliginya nampak tak rapih dan agak kusam tak terawat. “Pasti Ibu mau bilang kenapa saya sendiri lebih gendut kan? Hmm, hampir semua pasien saya ngomong begitu. Tapi akhirnya mereka nyesel setelah sembuh”.
“Gemuk dan kurus itu hak azasi manusia. Siapapun yang memilih salah satunya, harus dihormati” khotbah dr. Hebring pula.
Saat Susi mau menimpali, dr. Hebring membentaknya dengan berang. “Ibu mau berdebat atau ber0bat?”
Mendadak Susi ketakutan. Ia berusaha menata emosinya. “Ya, mau ber0bat dong, dok...” ujarnya mempersejuk suasana meski nampak kaku.
Dr. Hebring pun menimbang dan mengukur tinggi badan Susi, lalu memeriksa jantungnya dengan stetoskop. Saat menganalisis hasil pemeriksaan, dr. Hebring terkulai muram.
“Ada apa dok?” tanya Susi cemas.
“Ibu Susi, dengan sedih, saya mesti katakan bahwa... “ dr. Hebring ragu.
Susi panik. “Kenapa dok? Ada apa dengan saya?” desaknya makin stres.
Dr. Hebring menarik napas panjang, lalu berkata dengan lirih: “Maaf. Ibu Susi akan meninggal satu bulan lagi.”
Tangis Susi meledak. Dr. Hebring berusaha menenangkannya. Namun dengan murka Susi menolak tubuh dokter itu hingga sempoyongan.
*****
Sejak menerima “vonis” wafat dari dr. Hebring, Susi tinggal di kamarnya. Ia terus menangis hingga matanya bengkak. Para sanak keluarga berusaha menghiburnya, namun gagal. Sam sendiri yang selama ini jadi motivatornya malah dicuekin.
Semingguan berikutnya, isak Susi reda sendiri. Tetapi kondisinya malah makin parah. Selain
masih mogok makan yang membuatnya kurus, ia juga mogok bicara.
Janda kembang itu kini kusut, berantakan. Tubuhnya tak wangi lagi akibat jarang mandi. Ia bahkan tak pernah lagi tersentuh make-up seperti sebelumnya.
Pada minggu kedua, Susi tiba-tiba menjadi relijius. Shalatnya yang dulu bolong-bolong, kini utuh, malah dioptimalkan dengan semua shalat sunnah, termasuk tahajjud. Ia juga rajin bertadarrus dan berzikir.
Berkat itu, pada minggu ketiga, Susi makin tenang. Ia pun mulai berani keluar kamar meski bajunya sangat gombrang karena tubuhnya menyusut drastis. Namun ia yang dulu ceria dan jenaka, kini menjadi pemurung.
Pada awal minggu keempat, Susi menulis wasiat tentang pembagian semua hartanya kepada keluarga dan kerabatnya. Anehnya, Sam juga kebagian. Padahal ia bukan famili Susi.
Empat hari sebelum jadwal kematiannya, Susi dilarikan ke rumah sakit karena selain tubuhnya kian melemah, vʌginanya mengalami pendarahan. Namun menurut dr. Johan yang merawatnya, Susi baik-baik saja. Ia hanya mengalami dehidrasi. Pendarahan di vʌginanya itu akibat stres berkepanjangan. Esoknya Susi dibolehkan pulang.
Dua hari menjelang hari “H”, Susi mengundang kerabatnya untuk tadarrusan di rumahnya agar ia tegar menghadapi kematiannya. Namun, tetap saja Susi tak mampu menyembunyikan rasa takutnya pada kematian. Ia pun makin ceking akibat depresi.
Pada malam terakhir, Susi memanggil Sam masuk ke kamarnya. Mereka duduk berhadapan di lantai ruang shalat.
“Sam... “ ujar Susi dengan air mata meleleh di pipinya. “Aku mau tanya kamu. Tolong jawab yang jujur, ya?”
“Insya Allah, Sus. Kamu tahu kan, aku nggak pernah bohongin kamu.” sahut Sam.
Susi terdiam sejenak untuk mengontrol emosinya. Lalu ia bertanya: “Sam... apakah kamu masih mencintai aku?”
Sam kaget seperti kena setrum. Mendadak terbayang semua kisah indah yang dahulu ia pernah alami bersama Susi.
“Kamu tahu Sus... Aku cinta kamu sejak kita di SMP hingga saat ini. Insya Allah, sampai di akhirat nanti, aku tetap mencintai kamu, Sus...” bisik Sam lirih.
Tangis Susi meledak, namun ia tahan, takut terdengar orang-orang yang bergadang di luar kamar.
“Kamu aja yang nggak cinta aku, Sus. Buktinya, kamu dulu ninggalin aku untuk kawin sama Om Jono.” dakwa Sam marah campur sedih.
Susi makin menangis sambil meredam mulutnya dengan ujung jilbabnya.
“Maafkan aku, Sam... Aku terpaksa kawin dengan Om Jono... Kamu tahu kan? Hanya dengan begitu aku bisa bantu Papa melunasi utangnya...”
“Aku tahu, Sus. Makanya aku ikhlas melepaskanmu saat itu” kata Sam.
“Tapi kamu nggak tahu neraka perkawinanku dengan Om Jono, kan Sam?” bisik Susi lirih.
“Aku tahu, Sus... Mamamu yang ceritain aku semuanya.” timpal Sam.
“Mama cerita apa aja, Sam?” desak Susi.
“Banyak. Kamu sering digebukin Om Jono karena menolaknya untuk berhubungan sᥱks.”
Susi tersentak. “Mama cerita yang itu, Sam?”
“Mamamu juga bilang bahwa kamu ngga pernah bersetubuh dengan siapapun sampai Om Jono tewas dalam kecelakaan itu”, tutur Sam pula.
“Kamu percaya itu, Sam?” tanya Susi penasaran.
“Pasti. Hingga saat ini pun kamu masih perawan.” tegas Sam.
Susi tersentak dan menatap mata Sam. “Dari mana kamu tahu bahwa aku masih perawan?”
“Dari dokter Johan yang memeriksa pendarahan di vʌginamu kemaren” jelas Sam. “Dia bisik aku, dikiranya aku suamimu. Dikiranya aku impoten. Dia nawarin perawatan”.
Susi kembali menangis tersedu di ujung jilbabnya. “Kamu percaya janjiku dulu kan, Sam? Kegadisanku hanya untuk kamu.”
Sam dan Susi terdiam. Mereka sama tahu, meski Susi hanya mau melepaskan keperawanannya untuk Sam saja, namun itu mustahil terjadi di dunia ini. Tak mungkin mereka menikah karena kematian Susi tinggal menghitung jam.
Berzina? Tidak! Sam enggan mengotori perjalanan sakral Susi menuju Sang Maha Suci. Sam juga tak sudi mencemari rekornya sebagai perjaka asli yang belum pernah bersebadan dengan siapapun karena cintanya hanya untuk Susi.
“Sam, aku tunggu kamu di surga. Disana nanti aku serahin perawanku ke kamu.” janji Susi tegas. Itu membuat Sam terharu.
Menjelang larut malam, sebelum berpisah, Susi mohon agar Sam memintakan ampunan atas dosa besar yang pernah Susi lakukan.
“Dosa besar? Dosa apa?” tanya Sam bingung.
“Sam... Dulu Om Jono bukan mati kecelakaan. Aku tembak kepalanya. Lalu aku bakar mobilnya dan kujatuhkan ke jurang sampai hangus bersama dia” pengakuan polos Susi ini membuat Sam terperanjat seperti disambar geledek.
“Kenapa kamu lakukan itu?” tanya Sam ngeri.
“Aku nggak tahan lagi Sam. Tiap saat dia mabok, nampar aku, nendang vʌgina dan pʌyudaraku, siram aku dengan kopi panas, sundut aku dengan cᥱrutu... dan banyak lagi siksaan lainnya.” tutur Susi penuh emosi.
Susi kini plong setelah memuntahkan rahasia terbesarnya kepada orang yang paling dicintainya itu. Selama ini rahasia itu menjadi beban batin Susi yang terberat dalam hidupnya. Ia mengatasi itu dengan rajin mengkonsumsi 0bat tidur. Itulah yang membuat tubuhnya gembrot tempo hari.
*****
Pada hari ke-30, ramalan dr. Hebring tidak terbukti. Padahal Susi sudah menyiapkan rencana penguburan, tahlilan, dan sebagainya, yang ia serahkan penanganannya pada Sam.
Pada hari ke-31 hingga 35 Susi malah makin segar bugar. Sanak keluarga yang makin ramai berdatangan menyambut upacara kematian itu pun jadi bingung.
Hingga hari ke-40 Susi belum juga mati. Susi dan karib-kerabatnya, terutama Sam, memang gembira. Tetapi mereka juga bertanya-tanya, kelirukah dr. Hebring dengan prekdiksinya? Atau dokter nyentrik itu cuma bercanda?
Jika dokter itu keliru, bisa dimaklumi, karena ilmu pengetahuan memang nisbi. Matematika yang notabene ilmu pasti itu saja gagal menunjukkan kepastiannya saat mengkalkulasi hitungan tertentu, misalnya 1 : 3.
Tetapi, jika dokter kuda nil itu bercanda, semua orang pasti sangat marah karena nyawa manusia terlalu mulia untuk dijadikan guyonan.
Berbekal prasangka buruk, Susi dan Sam bergegas ke tempat praktek dokter tak berleher itu. Mereka menolak nomor tunggu, langsung saja melabrak masuk disaksikan seratusan pasang mata pasien yang keheranan.
Dr. Hebring yang sedang melayani pasien terkejut melihat kedatangan Susi dan Sam yang diluar prosedur itu. Semula ia mau marah, namun saat melihat Sam dan Susi bermuka sangar, iapun mengalah.
“Dokter! Kamu bohong!” teriak Susi garang. Orang-orang di luar pun mengintip ke dalam. “Dulu kamu bilang aku akan mati sebulan lagi. Tapi ini sudah hari ke-41 aku masih hidup. Apa tujuanmu membohongi aku? Jawab!” Susi membentak sambil menggebrak meja.
“Tujuanku?” kata dr. Hebring tenang, “Supaya kamu kurus, sesuai maumu”.
Susi dan Sam tertegun. Emosi mereka mendadak padam. Dr. Hebring menarik Susi ke alat penimbangan badan. Susi manut.
“Lihat! Berat badanmu tinggal 63 kilo.” Kini dr. Hebring yang gantian marah. “Dulu kamu kesini, berat badanmu 133 kilo. Turun lebih separo, tau? Bukannya syukur malah mencak-mencak. Mana belum bayar lagi. Ayo, bayar sekarang!” teriak dokter bergigi berantakan itu.
Cerpen: Sang Mahadewa Cinta
Bumi Allah, 3 Mei 2015