Puisi Prosa Ia yang Berbalut Kesemuan
Monday, January 02, 2017
Puisi Prosa ia yang berbalut kesemuan | Silam itu, di saat fajar masih setengah tombak, terdengar tangis dari mulut cilik, di lereng bukit tak cantik, tangis itu begitu nyaring. Seperti memberi tahu kepada setiap mata " ini aku, penghuni baru dunia nan semu." semu tentang kita. Dan ke-semu-an itu ia rasakan saat tangisnya berganti tawa lucu tanpa rasa takut, saat tapak-tapak kecilnya mulai menginjak-injak bumi, semu itu menyapa saat pemilik rahim serupa surga kembali kepada keabadian. Dia si kecil harus tertatih tanpa kenangan di ingatan, seperti apa wajah bidadari pemilik rahim sehangat mentari.
Pun ketika langkahnya beranjak lebar, kembali semu itu datang menampar, pemilik dada bidang nan tegar penopang raga mungilnya terkapar, dan si kecil yang hanya bisa berkoar tiada rasa gentar, begitu asyik tertawa lebar tanpa tahu sebenar kabar, bahwa semu telah membawa dada itu untuk terbaring di bawah dunia yang belum berhenti berputar. Sedang memori si kecil masih belum mampu menangkap radar, hingga wajah pelindung berdada tegar tak sanggup ia kenang sampai ia besar.
Perjalanan semu yang akan menjadikan si kecil menuju besar pun di mulai ketika dia sedikit mampu mengingat, bagaimana pertama kali ia mengulurkan tangan, mengemis cinta dari ribuan jemari 'tuk memberi hangat, meski singkat namun membantunya untuk tetap tertawa meski hanya sekedar lewat.
Ya ... tawa semu sebagai sebagian laku, meski duka kerap datang tanpa jemu, iringi langkahnya susuri dunia baru. Menjadikan dia pribadi tanpa jati diri. Pribadi yang hanya sanggup mengingat para malaikat pemberi semangat, namun tak kuasa melukis siapa sebenarnya sepasang raja dan ratu yang pernah ia singgahi kerajaannya, seperti apa wajah yang pernah di titipi Tuhan menyimpannya saat dia masih menjadi gumpalan menanti masa jalani kehidupan.
Kini, si kecil itu telah mampu berdiri, meski tangan belum jua berhenti menengadah meminta dan mengemis iba di hati. Sebab itu telah ia jadikan tradisi dahulu hingga kini, hanya agar tak pernah ia merasa sendiri serupa petualang di lorong tanpa tepi.
Namun ... kini dia seakan tak berbeda dengan petualang berjubah usang, yang tetap berjalan meski tanpa tujuan, dan di tiap hening datang untuk ia rebahkan raga melipur keletihan, selalu ia layangkan tanya yang hingga kini tanpa jawaban " Seperti apa wajah sepasang yang lahirkanku, dan siapa sesungguhnya diriku?".
Tanya itu menjadi pengiring langkahnya jalani masa mengukir cerita kehidupan.
Entahlah .... ia hanya mampu berpasrah dan berharap, semoga esok sebelum ajal menghampirinya 'tuk berpindah menuju alam keabadian, sang waktu menjawab tanya yang ia layangkan , agar ia dapat pergi dengan senyuman ... pergi meninggalkan dunia penuh kepalsuan.
Mheef
Jambi, 01-01-2017
Demikianlah prosa ia yang berbalut kesemuan, semoga menghibur dan bermanfaat. Sampai jumpa di artikel selanjutnya. Tetap di blog puisi dan kata bijak menyimak/membaca puisi yang kami update. Terima kasih sudah berkunjung.
Pun ketika langkahnya beranjak lebar, kembali semu itu datang menampar, pemilik dada bidang nan tegar penopang raga mungilnya terkapar, dan si kecil yang hanya bisa berkoar tiada rasa gentar, begitu asyik tertawa lebar tanpa tahu sebenar kabar, bahwa semu telah membawa dada itu untuk terbaring di bawah dunia yang belum berhenti berputar. Sedang memori si kecil masih belum mampu menangkap radar, hingga wajah pelindung berdada tegar tak sanggup ia kenang sampai ia besar.
Perjalanan semu yang akan menjadikan si kecil menuju besar pun di mulai ketika dia sedikit mampu mengingat, bagaimana pertama kali ia mengulurkan tangan, mengemis cinta dari ribuan jemari 'tuk memberi hangat, meski singkat namun membantunya untuk tetap tertawa meski hanya sekedar lewat.
Ya ... tawa semu sebagai sebagian laku, meski duka kerap datang tanpa jemu, iringi langkahnya susuri dunia baru. Menjadikan dia pribadi tanpa jati diri. Pribadi yang hanya sanggup mengingat para malaikat pemberi semangat, namun tak kuasa melukis siapa sebenarnya sepasang raja dan ratu yang pernah ia singgahi kerajaannya, seperti apa wajah yang pernah di titipi Tuhan menyimpannya saat dia masih menjadi gumpalan menanti masa jalani kehidupan.
Kini, si kecil itu telah mampu berdiri, meski tangan belum jua berhenti menengadah meminta dan mengemis iba di hati. Sebab itu telah ia jadikan tradisi dahulu hingga kini, hanya agar tak pernah ia merasa sendiri serupa petualang di lorong tanpa tepi.
Namun ... kini dia seakan tak berbeda dengan petualang berjubah usang, yang tetap berjalan meski tanpa tujuan, dan di tiap hening datang untuk ia rebahkan raga melipur keletihan, selalu ia layangkan tanya yang hingga kini tanpa jawaban " Seperti apa wajah sepasang yang lahirkanku, dan siapa sesungguhnya diriku?".
Tanya itu menjadi pengiring langkahnya jalani masa mengukir cerita kehidupan.
Entahlah .... ia hanya mampu berpasrah dan berharap, semoga esok sebelum ajal menghampirinya 'tuk berpindah menuju alam keabadian, sang waktu menjawab tanya yang ia layangkan , agar ia dapat pergi dengan senyuman ... pergi meninggalkan dunia penuh kepalsuan.
Mheef
Jambi, 01-01-2017
Demikianlah prosa ia yang berbalut kesemuan, semoga menghibur dan bermanfaat. Sampai jumpa di artikel selanjutnya. Tetap di blog puisi dan kata bijak menyimak/membaca puisi yang kami update. Terima kasih sudah berkunjung.